Mengaku Nabi atau Gubernur Warung Kopi?

Oleh: Moh. Husen*

Setelah kemarin saya mengaku Takut Memandang Artis, bagaimana kalau kali ini saya mengaku Ingin Mencalonkan Diri Jadi Gubernur? Bukan Gubernur DKI. Juga Bukan Gubernur Jatim. Gubernur Warung Kopi saja, gimana? Atau apa mengaku nabi saja, sepertinya mungkin enak?

Mengaku nabi lalu cangkruk di warung kopi, sambil menasehati orang, menyuruh orang, atau mungkin memaksakan kehendak kepada orang lain, dengan dalih kita seorang nabi utusan Tuhan.

Atau mungkin tidak perlu ngaku nabi untuk sekedar memaksakan kehendak atas orang lain. Cukup jadi preman yang kendel, berani, nekat, kejam, beres. Jangan menyebut jadi penguasa, terlalu kasar dan kita bisa kehilangan pembagian jatah proyek tertentu.

Kita boleh tidak mengikuti nabi. Tapi kalau ndak mengikuti penguasa bisa repot. Jadi mestinya mending ngaku jadi penguasa daripada ngaku jadi nabi.

Saya ini sebenarnya senang juga kalau ada orang, apalagi seandainya orang tersebut adalah tetangga dekat saya, lantas ia mengaku nabi. Tingkat ekonomi saya membawa kepada kenyataan hidup bahwa merk yang palsu sangat berjasa kepada saya, karena harganya murah. Maka saya senang kalau ada nabi palsu.

Saya sudah bosan memanggil orang dengan panggilan Pak, Mas, Cak, Mbah, Paman, ataupun yang lain. Kalau ada nabi palsu kan enak: “Nabi, mau kemana? Ngopi bareng ta sama saya?” Apalagi bisa di sms: “Apa kabar nabi? Bisa kredit lunak, bi?” Tentu keren.

Substansi seseorang tidak akan gugur meskipun dia mengaku apa saja. Baik mengaku nabi ataupun mengaku presiden. Akan tetapi mengaku apa saja, apalagi mengaku yang bukan aslinya, pasti ada resikonya.

Kalau nggak percaya, silakan dicoba, mengakulah jadi nabi atau presiden Indonesia?

Saya saja terkadang “gengsi” kalau harus mengaku mlarat. Saya harus dengan gagah sok mentraktir ngopi: “Ada ta uangnya? Pakai ini saja….” Tapi yang bersangkutan sudah saya prediksi akan bergegas mbayari.

Betapa luar biasanya mereka yang berani mengaku-ngaku itu. Kata seorang taman: “Ngaku Gubernur Warung Kopi saja biar dapat ngopi gratisan, hahahaha….” (Rogojampi, 10 Maret 2016)

 

*Penulis tinggal di Rogojampi-Banyuwangi. Tulisan ini merupakan dokumentasi penulis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *