Diduga Pungli, Humas RSUD Ketapang Angkat Bicara

Sampang//SuaraIndonesiaOnline
Direktur RSUD Ketapang melalui Kabid Humas RSUD Ketapang dr Syafril Alfian Akbar angkat bicara mengenai dugaan tindakan pungutan liar (pungli) di Rumah Sakit Daerah (RSD) Ketapang. Dugaan pungli itu terkait pasien asal Desa Tobai Barat yang keluar biaya Rp1.020.000 untuk membeli darah.

Pihaknya tidak terima dituding melakukan pungli. Sebab, pihak RSUD Ketapang tidak menerima sepeser pun dari biaya yang dikeluarkan pasien. Uang itu diberikan keluarga pasien bukan kepada petugas, melainkan kepada pihak ketiga yang biasa membuka jasa pengambilan darah. Kata Syafril. Rabu, 23,/11/2022.

Syafril juga mengatakan, pihak ketiga itu yang mengambil darah ke PMI (Palang Merah Indonesia) Bangkalan. Jadi pihak ketiga itu yang menerima uang dari keluarga pasien, bukan petugas. Kami ada butki rekaman CCTV.

Pihak ketiga tersebut merupakan warga yang biasa membantu pasien mengambilkan darah ke PMI. Namun, ada ongkos transportasi yang harus dibayarkan oleh pasien. Dalam kasus ini, yang bersangkutan menarik biaya Rp300 ribu kepada keluarga pasien. Imbuhnya

Sementara, kata Syafril, “Biaya menebus darah di PMI untuk satu kantong sebesar Rp360 ribu. Pasien butuh dua kantong. Sehingga harus mengeluarkan Rp720 ribu. Bukti transaksi berupa kwitansi keluar dari pihak PMI Bangkalan. Kwitansi itu disampaikan melalui pihak ketiga tersebut”.

Oleh sebab itu, dalam kwitansi tersebut hanya tertera biaya penebusan darah sebesar Rp720 ribu. Sebab, biaya transportasi yang Rp300 ribu bukan masuk ke instansi, baik ke RSUD maupun PMI, melainkan masuk ke kantong pihak ketiga yang telah memberi jasa pengambilan darah.

“Sepeser pun kami dari pihak rumah sakit tidak terima uang. Jadi tidak benar kalau disebut kami melakukan pungli,” tandas dr. Syafril.

Kendati begitu, pihaknya mengakui kejadian tersebut berawal dari kesalahan petugas rumah sakit. Kronologi awalnya, pada Selasa (15/11/2022) pukul 15.00 pasien beserta keluarga tiba di ruang instalasi gawat darurat (IGD). Kemudian, petugas mengarahkan pihak keluarga untuk registrasi.

 

Sekitar 15 menit kemudian, pasien telah didaftarkan sebagai penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kelas III. Setelah dilakukan pemeriksaan darah di laboratorium, hemoglobin (Hb) pasien diketahui 8,2.

Salah seorang tenaga kesehatan (nakes) menyampaikan kepada keluarga pasien, bahwa bila Hb di atas 8, maka pasien tidak bisa dikaver oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sehingga, pasien diarahkan untuk dilayani sebagaimana pasien umum.

Karena pernyataan nakes itulah, sehingga pasien mendaftar sebagai pasien umum. Sehingga, saat harus dilakukan transfusi darah, pasien harus keluar biaya untuk membeli darah. Hal itu diakui sebagai kesalahan petugas karena tidak memahami prosedur teknis tentang BPJS Kesehatan.

“Salahnya kami di situ. Karena kesalahpahaman petugas kami tentang aturan BPJS dan tidak konsultasi ke manajemen,” terang dr. Syafril.

Atas kejadian itu dr. Syafril dan pihaknya bersedia mengembalikan uang pasien. Namun, yang akan diganti hanya biaya penebusan darah. Yaitu Rp720 ribu. Sebelum diganti, biaya itu akan diklaimkan ke BPJS terlebih dahulu. Sementara untuk biaya transportasi tidak bisa diganti.

“Karena yang Rp300 ribu bukan masuk ke PMI, tapi masuk pada pihak ketiga yang mengambilkan darah,” tuturnya.

Terpisah pihak ketiga ( H Salman Alfarisi ) melalui WhatsApp pribadinya mengatakan kepada wartawan “Ya mas! Yang menerima uang itu saya, dan petugas nakes tidak ikut campur’. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *